JURNAL
ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
SASTRA
SEBAGAI SEBUAH DISIPLIN ILMU
1.
PENDAHULUAN
1.1
Pengertian Ilmu
Menurut Kamus Umum
Bahasa Indonesia (1995: 373), Ilmu adalah pengetahuan atau kepandaian, baik
tentang segala yang masuk jenis kebatinan maupun yang berkenan dengan keadaan
alam. Sementara Komaruddin (1985: 39 –40) mengatakan bahwa ilmu pengetahuan
adalah kumpulan pengetahuan hasil penelitian dengan menggunakan metode
penelitian dan pengembangan yang memberikan pemahaman dan informasi tentang
gejala-gejala alam dan sosial. Ilmu menjawab pertanyaan "mengapa"
terjadi hubungan kausal (sebab-akibat), secara sistematis berdasarkan
metodologi. Ilmu juga bersifat generalisasi. Sejalan dengan hal itu Gazalba
(1991:40) mengatakan bahwa ilmu haruslah sistematis berdasarkan metodologi, dan
berusaha mencapai generalisasi, sedangkan Sumantri (1994:237) mengatakan bahwa
ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka
oleh masyarakat. Arthur Thomson (Gie, 2000) mendefinisikan ilmu sebagai
pelukisan fakta-fakta pengalaman secara lengkap dan konsisten dalam
istilah-istilah sesederhana mungkin. Maka ilmu mencari ilmu pengetahuan dari
segi-segi tertentu, bidang-bidang khusus dengan obyeknya unsurunsur alam;
benda-benda mati saja, tanaman saja, hewan saja, manusia saja. Ilmu juga
mempelajari segi-segi tertentu kehidupan, mempelajari jurusanjurusan tertentu
tentang hukum, hukum adat, hukum kriminil dan perdata, dan sebagainya. Ilmu
hanya memberikan penjelasan khusus tentang fakta, sedangkan tentang penjelasan
umum tentang obyek yang dipelajarinya diserahkannya kepada filsafat. Maka
perhatian ilmu terpusat pada "bagaimana adanya", sedangkan tentang
"bagaimana seharusnya" menjadi tugas filsafat menjelaskannya.
1.2
Syarat Ilmu Pengetahuan
Sesuatu untuk dapat
dikatakan sebagai ilmu pengetahuan ada syaratnya. Syaratnya ada tiga yaitu
mempunyai ontologi, mempunyai epistemologi dan mempunyai aksiologi atau
deontologi. Ontologi ada yang menyebutnya dengan istilah teori kebenaran.
Ontologi adalah hakikat, inti, atau esensi. Ontologi membahas tentang hakikat,
inti, atau esensi dari yang disebut pengetahuan atau dengan kata lain ontologi
mengkaji tentang ‘realitas sejati’ dari pengetahuan. Maka, yang dipertanyakan
dalam ontologi ini apakah hakikat atau inti atau esensi dari pengetahuan
tersebut. Misalnya apakah hakikat, esensi dari sastra, apakah hakikat, esensi
dari komunikasi, dan sebagainya.
Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan
(Pranarka, 1987:3). Epistemologi mengkaji tentang validitas (keabsahan) dan
batas-batas ilmu pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan
melalui proses tertentu, yang dinamakan metode keilmuan. Metode keilmuan ini ada
dua pertama metode deduksi dan kedua metode induksi. Aksiologi atau deontologi mengenai halhal
yang normatif. Misalnya kegunaan ilmu. Manfaat atau kegunaan apakah yang dapat
langsung dirasakan atau tidak langsung, sejauh mana dampak atau pengaruhnya terhadap
manusia, dan sebagainya.
1.3
Sifat Ilmu
Ilmu memiliki sifat
sebagai berikut (Bawa, 2003:12-13): a. Bersifat akumulatif dan milik bersama.
Artinya hasil dari setiap ilmu boleh dipakai oleh siapa saja.
b. Hasil ilmu tidak
bersifat mutlak, artinya ilmu tidak terlepas dari kesalahan (bukan kesalahan
metodenya)
c. Ilmu itu obyektif
artinya, berdasarkan fakta dan atau faktual, bukan berasal dari intuisi
pribadi, atau hal-hal yang gaib. Menurut Ralph Rose dan Ernest Van den Haag,
bahwa sifat ilmiah adalah:
a. Rasional.
b. Bersifat empiris
c. Bersifat umum, dan
d. Ilmu bersifat
akumulatif.
1.4
Simpulan
Hakikat ilmu adalah
esensi, inti dari pengetahuan. Esensi atau hakikat ilmu bahwa ilmu mempunyai
ontologi (hakikat atau esensi), mempunyai epistemologi (metode atau cara
mendapatkan pengetahuan yang benar), sehingga jelas batasbatasnya antara ilmu
pengetahuan yang satu dengan ilmu pengetahuan yang lainnya, dan mempunyai
aksiologi (deontologi) yaitu kegunaan atau kemanfaatan ilmu pengetahuan. Sifat
ilmu adalah kumulatif, tidak bersifat mutlak, obyektif, rasional, bersifat
empiris, bersifat umum.
2. PENGERTIAN SASTRA
Istilah sastra dalam
bahasa Indonesia berasal dari bahasa sansekerta; akar kata sas biasanya menunjukkan alat, sarana. Maka
itu sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi
atau pengajaran. Awalan su berarti baik,
indah, sehingga susastra dapat dibandingkan dengan belles-lettres (Teeuw.
1988:23). Apakah kesusastraan itu? Dalam Kamus Sinonim Bahasa Indonesia yang
disusun oleh Kridalaksana (1977:154), sastra bersinonim dengan bahasa indah,
pustaka, buku, persuratan. Kesusastraan bersinonim dengan literatur, kepustakaan,
seni kata. Sastrawan bersinonim pujangga, pengarang, penyair. Dalam KUBI
(1996:882) dijelaskan sastra adalah:
1 Bahasa (kata-kata,
gaya bahasa) yang dipakai di kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari).
2 Karya tulis, yang
jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan
seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya.
3 Kitab suci Hindu,
kitab ilmu pengetahuan.
4 Pustaka; kitab
primbon (berisi ramalan, hitungan, dan sebagainya)
5 Tulisan, huruf.
Sedangkan kesusastraan,
karya tulis yang jika dibandingkan dengan yang lain, memiliki berbagai
ketentuan seperti keaslian, keartisikan, keindahan dalam isi dan
ungkapannya. kesastraan, perihal sastra
(maknanya lebih luas daripada kesusastraan).
Î Sastrawan,
(1) ahli sastra,
(2) pujangga, pengarang
prosa dan puisi,
(3) (orang)
pandai-pandai, cerdik cendekia.
Dalam Kamus Sastra yang
ditulis oleh Sudjiman (1986), dijelaskan sastra, karya lisan atau tertulis yang
memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan
dalam isi, dan ungkapan. Eagleton (1988:1-2) mengatakan kesusastraan adalah
karya tulisan yang bersifat "imajinatif. Kesusastraan adalah sejenis karya
tulisan yang mewakili suatu keganasan 1
yang teratur terhadap pertuturan biasa. Kesusastraan mengubah dan memadatkan
bahasa harian. Luxemburg, dkk. (1984:5,9) mengatakan kesusastraan merupakan
sebuah ciptaan, sebuah kreasi. Sastra bukanlah sebuah benda yang kita jumpai,
sastra adalah sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sejumlah
hasil tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan. Menurut Ahmad (1952:6) kesusastraan ialah
himpunan segala sastera atau karangan yang indah, karangan yang baik.
Kesusastraan atau seni sastra ialah segala pensahiran pikiran atau perasaan manusia
dengan memakai alat bahasa, baik dengan lisan maupun tulisan yang memenuhi
syarat-syarat kesenian. Sedangkan menurut Nasution, dkk (1973: 11) kesusastraan
ialah segala karangan yang baik bentuk dan isinya, yang dimaksud bentuk dan isi
ialah pemakaian bahasa dan teknik pengolahan sesuatu karangan, sedangkan isi,
berarti pikiran atau ide yang dikemukakan. Kemudian berdasarkan Simposium
Bahasa dan Kesusastraan Indonesia pada tanggal 25-28 Oktober 1966 (1967:184), diungkapkan
kesusastraan adalah sebuah peristiwa seni yang memakai bahasa sebagai
mediumnya.
Di samping itu, sastra
sebagai ilmu menurut Teeuw (1988:120) menunjukkan keistimewaan, barangkali juga
keanehan yang mungkin tidak dapat dilihat pada banyak cabang ilmu pengetahuan
lain yaitu obyek utama penelitiannya tidak tentu malahan tidak karuan. Sampai
sekarang belum ada seorang pun yang berhasil memberi jawaban atas pertanyaan
ilmu sastra; Apakah sastra?.
Melihat keluasan
seperti yang dikemukakan oleh Teeuw tersebut, maka kemudian menurut Hutagalung
"meskipun telah lama diterima sebagai ilmu dan diajarkan di perguruan
tinggi, ilmu susastra (sastra, pen) masih diragukan kemurniannya sebagai ilmu,
bahkan oleh ahlinya sendiri seperti Hudson dan Warren yang sudah menyusun buku
pengantar untuk
1 Istilah keganasan ini
adalah istilah Malaysia. Pengutipan di atas dikutip dari terjemahan dalam
bahasa Malaysia. pemahaman susastra. Salah satu penyebab utama timbulnya
masalah kemurnian ilmu susastra adalah karena obyeknya yakni karya sastra yang
"licin dan cair"
2 Dengan bertolak dari
pandangan di atas, permasalahan sebenarnya dapat disederhanakan menjadi dua
bagian: Pertama sastra dalam pengertian: sastra sebagai karya imajinatif. Kedua
sastra dalam pengertian seni bahasa (sebagai karya kreatif). Sastra sebagai
karya imajinatif adalah rekaan, hasil konstruksi seorang pengarang sementara
sastra sebagai seni bahasa adalah kreativitas. Jadi, sastra adalah kegiatan
kreatif dan imajinatif. Sebagai kegiatan kreatif karya sastra adalah sebuah
seni bahasa. Bersifat imajinatif, berarti kalaupun realitas yang disajikan
sebuah karya sastra adalah sebuah realitas yang sungguhsungguh ada, seolah-olah
dapat dijadikan studi sejarah misalnya, tetapi realitas seperti ini adalah
realitas yang sudah dimodifikasi, direkonstruksi sipengarang berdasarkan
kehendak hatinya (anutan rohaninya)
3 Dalam hal ini maka
pendekatan karya sastra dapat dibagi atas dua bagian besar yang dikenal dengan
pendekatan instrinsik dan ekstrinsik
4 Kedua pendekatan ini
hanya terpisah dalam istilah saja. Pada kenyataannya antara pendekatan yang satu
dengan yang lainnya saling mengisi, saling mendukung dalam memberi arti.
Di sinilah ketidakakuratan
karya sastra dalam mengungkapkan realitas sosial. Dalam karya-karya sastra lama
misalnya, lokasi kejadian kerap tidak jelas disebutkan saja di sebuah daerah
antah berantah. Menelaah realitas sosial
seperti ini sejarah misalnya jelas sangat sulit, sebab data seperti ini tidak
dapat menjawab satu atau dua W dari 4 W yaitu W (Where) di mana yaitu mengenai lokasi
kejadian atau (When) kapan yaitu tahun berapa kejadian itu ada. Tetapi dalam
karya-karya sastra moderen, walaupun realitas di dalam sebuah karya sastra
moderen dapat menjawab 4 W di atas, tetapi karya sastra moderen juga tidak
dapat dijadikan bahan studi sejarah, hal ini dikarenakan sifat karya sastra itu
yaitu imajinatif. Realitas yang sesungguhnya kerapkali sudah dimanipulasi,
direkonstruksi si pengarang untuk tujuan-tujuannya. Salah satu contoh ini
adalah karya Williem Shakespeare yang berjudul
King Lear. Dalam sejarah tokoh
King Lear menang dalam peperangan, tetapi dalam karya Williem
Shakespeare, tokoh King Learmenderita
kekalahan (Wiratmo Soekito. Kesusastraan dan Kekuasaan, majalah Prima, Maret
1979, hal 47-50). Ini berarti telah terjadi pemutarbalikan fakta. Mengapa
Williem Shakespeare merekonstruksi fakta ini (baca diputarbalikkan), tentu ada
maksud-maksud tersendiri.
5 Pendekatan instrinsik
adalah pendekatan yang berdasarkan unsur-unsur yang membangun sebuah karya
sastra itu dari dalam, misalnya sebuah puisi, maka yang dibicarakan antara lain,
masalah rasa (feeling), nada (tone),
amanat/tujuan (intention), diksi (diction), imaji (imagery) dan sebagainya. Dalam
prosa antara lain plot, penokohan, latar
dan sebagainya. Pendekatan ekstrinsik adalah pendekatan yang berdasarkan
hal-hal yang mempengaruhi penciptaan karya sastra itu dari unsur luar seperti
sejarah, perubahan sosial, ideologi (anutan rohani si penulis/pengarang) dan
sebagainya.terhadap pemahaman sebuah karya sastra, bukan saling berbeda, sebab
kalau pembicaraan terhadap sebuah karya sastra lebih ditekankan ke segi ekstrinsiknya,
pembicaraan karya sastra menjadi lain, boleh jadi bukan lagi pembicaraan
tentang kesusastraan. Menekankan ke bidang sosiologi misalnya, akan menjadi
semacam uraian tentang sosiologi. Menekankan kepada bidang sejarah misalnya, akan
menjadi semacam pembicaraan tentang sejarah. Jadi, walaupun pengertian sastra
dan ilmu sastra samar-samar, setidak-tidaknya karya sastra mengandung tujuh
unsur, yakni unsur
(1) kebahasaan,
(2) struktur wacana,
(3) signifikan sastra,
(4) keindahan,
(5) sosial budaya,
(6) nilai, baik nilai
filsafat, agama, maupun psikologi, serta
(7) latar
kesejarahannya (Aminuddin, 1987: 51).
3.
SASTRA SEBAGAI ILMU
3.1 Syarat Ilmu
Seperti telah dikemukakan
di atas bahwa sesuatu itu dapat digolongkan menjadi ilmu harus memiliki ontologi,
epistemologi, aksiologi (deontologi). Pertanyaan kemudian, bagaimana ontologi sastra
sebagai ilmu? Bagaimana epistemologi sastra sebagai ilmu dan bagaimana aksiologi
atau deontologi sastra sebagai ilmu?
3.1.1 Ontologi Sastra
Apa yang menjadi ontologi
atau hakikat atau inti sastra atau kesusastraan? Apakah Sastra atau kesusastraan
itu seni atau bukan. Apakah Sastra atau kesusastraan itu media komunikasi atau bukan?
Dengan terjawab hakikat sastra ini, maka semakin jelas terjawab masalah
epistemologi sastra atau kesusastraan. Nyatanya hingga kini, apa ontologi
sastra belum terjawab. Menurut pandangan penulis setidaknya ada lima ontologi atau
hakikat atau esensi sastra sebagai ilmu pertama sastra sebagai bahasa, sastra sebagai
seni, sastra sebagai komunikasi, sastra sebagai simbol artinya dibalik teks ada
makna lain, dan sastra sebagai hiburan. Ontologi Sastra
Sastra Sebagai Bahasa
Sastra Sebagai
Seni/Estetika
Sastra Sebagai
Komunikasi
Sastra Sebagai Simbol
Sastra Sebagai Hiburan
Di
sinilah keunikan sastra sebagai ilmu, sastra sebagai ilmu mempunyai lebih dari
satu ontologi, hakikat, atau esensinya. Ontologi, hakekat, esensi yang berbeda,
menghasilkan, atau memerlukan metode pengkajian yang berbeda pula. Hal inilah yang
menyebabkan dalam tataran epistemologi, banyak metode pendekatan, pengkajian
terhadap sastra.
3.1.2
Epistemologi Sastra
Berdasarkan
lima ontologi sastra tersebut, maka epistemologi sastra itu, bergantung dari
ontologi yang dipahami. Bila kita menganggap sastra sebagai bahasa, maka
epistemologinya adalah ilmu-ilmu kebahasaaan. Bila kita menganggap sastra
sebagai seni, maka epistemologinya adalah ilmu-ilmu kesenian. Bila kita
menganggap sastra sebagai komunikasi, maka epistemologinya adalah ilmu
komunikasi. Bila kita menganggap sastra sebagai simbol, maka epistemologinya
adalah ilmu-ilmu tentang simbol. Bila kita menganggap sastra sebagai hiburan,
maka epistemologinya adalah ilmu-ilmu kebudayaan populer. Ontologi Arahan
Epistemologi
-Sastra Sebagai Bahasa
Ilmu-Ilmu Tentang Kebahasaan, Sastra
Sebagai Seni Ilmu-Ilmu Tentang Seni dan Estetika
-Sastra Sebagai
Komunikasi Ilmu-ilmu Tentang Komunikasi
-Sastra Sebagai Simbol
Ilmu-Ilmu Tentang Simbol
-Sastra Sebagai Hiburan
Kajian Budaya Populer Epistemologi Disiplin Ilmu yang Terkait Ilmu-Ilmu Tentang Bahasa Semantik,
Sintaktis dan sebagainya.
Ilmu-Ilmu Tentang Seni
Seni dan Estetika dan sebagainya. Ilmu-ilmu Tentang Komunikasi Ilmu Komunikasi
dan sebagainya. Ilmu-Ilmu Tentang Simbol Hermenutika, Analisis Wacana, Simbolisme,
Dekonstruksi dan sebagainya.
Kajian Budaya Populer
Psikologi, Hedonisme dan sebagainya.
Penggunaan atau
penerapannya tidak kaku, namun fungsional. kombinasi kelima ontologi tersebut, melahirkan
epistemologi sastra seperti yang sudah digunakan selama ini seperti srukturalisme,
mimesis, pragmatik, ekspresi, obyektif, emotif. analitis, historis,
sosiopsikologis, didaktis, semantik, tradisional, intensional, general,
komparatif, doktrin, sekuensi, tematik, evaluatif, judisial, induktif,
impresionistik, sosiokultural, mitopeik, relativistik, absolustik, interprestasi,
tekstual, lingusitik, biografis, perspektif, elusidatori, praktis,
politik/ideologi, hedonisme, utilitarisme, vitalisme, humanisme, relegiusme,
sosial budaya, artistik, eksistensialisme, dan sebagainya seperti semiotik, hermeneutika,
sosiosastra (sosiologi sastra), intertektualitas, psikologi sastra, dekonstruksi,
simbolisme.
3.1.3
Aksiologi (Deontologi) Sastra
Bagaimana asksiologi
atau deontologi sastra? Bila mengikuti ontologi atau hakikat atau esensi sastra
di atas, maka aksiologi atau deontologi sastra adalah:
1 Karya Sastra harus
mencerminkan dan memupuk rasa keindahan.
2 Karya Sastra harus
membimbing peradapan dan keutuhan bangsa.
3 Karya Sastra harus
menuntun ke arah pembangunan rohani bangsa.
4 Karya Sastra harus
memberikan penerangan bagi persoalan-persoalan dalam masyarakat.
5 Karya Sastra harus
menciptakan ide-ide dan gagasan-gagasan baru.
6 Karya Sastra harus
mampu memberikan hiburan bagi rakyat (penikmatnya). Maka yang menjadi aksiologi
sastra adalah keenam unsur di atas. Soal apakah keenam unsur ini terdapat di
dalam sebuah karya sastra atau tidak, menjadi masalah lain.
3.2
Empat Sifat Sastra sebagai Ilmu
Pendekatan terhadap karya
sastra dapat dibagi atas dua bagian besar yang dikenal dengan pendekatan instrinsik
dan ekstrinsik. Kedua pendekatan ini hanya terpisah dalam istilah saja. Pada
kenyatannya antara pendekatan yang satu dengan yang lainnya saling mengisi,
saling mendukung dalam memberi arti terhadap pemahaman sebuah karya sastra.
Namun studi sastra sebagai bagian dari cabang ilmu pengetahuan, mempunyai empat
sifat:
No Sifat Penjelasan
1 Kumulatif. Sastra
sebagai ilmu bersifat kumulatif.
Artinya sastra sebagai ilmu
tidaksekaligus jadi, tetapi dibentuk berdasarkan kajiankajian atau penelitianpenelitian
sebelumnya. Teori-teorinya selalu disempurnakan, ditambah, diperbaiki sehingga
mampu menampung dinamika yang tumbuh di dalam sastra itu sendiri. Sebagai contoh
semakin bervariasinya pendekatan-pendekatan terhadap karya sastra menunjukkan
kepada kita pendekatan-pendekatan tersebut mencoba menampung dinamika yang
berkembang yang terdapat pada sebuah karya sastra, artinya kelemahan pendekatan
yang satu dicoba tampung pada pendekatan yang lainnya
Dalam hubungan ini dipergunakan
istilah pendekatan, alasannya, ada anggapan, sehebat apapun ilmu bantu yang dipergunakan
seseorang untuk memahami sebuah karya sastra, seseorang itu tetap tidak dapat
menangkap apa yang dimaksudkan si penulisnya. Apa yang dilakukan oleh seorang
kritikus misalnya tidak lebih hanya sebatas tafsiran berdasarkan tanda-tanda
yang terdapat di dalam karya sastra tersebut. Yang dapat menangkap maksud
sesungguhnya dari sebuah karya sastra hanyalah pengarangnya sendiri.
2 Empiris Berdasarkan
sifat kumulatifnya, maka sastra
sebagai ilmu didasarkan
kepada penelitian dan pengkajian sebelumnya. Kenyataan atau realitas karya sastra
tidak saja bersifat fakta tetapi juga faktual
3 Teori Sastra sebagai
ilmu mempunyai teori. Teori ini disusun berdasarkan penelitian dan kajian
terhadap karya-karya sebelumnya.
4 Tidak Terlibat ke
dalam Masalah Moral Artinya dalam upaya memahami dan menjelaskan sebuah karya
sastra, sastra sebagai ilmu tidak menilai dari segi moral seperti buruk dan
baik, atau hitam-putih. Jadi, sastra sebagai
disiplin ilmu, berdiri dan sejajar dengan disiplin ilmu lain. Sedangkan kemandirian
sastra sebagai ilmu-sastra, bergantung kepada dinamika yang terdapat di dalam
karya sastra tersebut, sebab (karya) sastra itu dapat dilihat, didekati, dibicarakan
dari berbagai sudut dan kepentingan. Namun sastra sebagai kajian, atau kritik,
mungkin sulit melepaskan dirinya dari penilaian baik dan buruk.
Dalam pengertian ini,
walaupun realitas sebuah karya sastra dapat dimasukkan ke dalam gambaran sesungguhnya dari sebuah kenyataan
yang terjadi di tengah-tengah perjalanan peradapan manusia (sejarah misalnya)
(tersurat), tetapi kecenderungan karya sastra adalah mencoba menggambarkan
bukan realitas yang sesungguhnya, ada makna
lain (tersirat). Karya sastra yang mengandung unsur sejarah misalnya, kerapkali
tidak dapat menjawab 4 W (What=apa, When=apabila, Who= siapa, dan Where=di mana),
dari yang dituntut untuk menentukan fakta. Adapun beberapa pendekatan yang
lazim dipergunakan dalam pemahami karya sastra antara lain, ilmu sosiologi,
melahirkan sosiologi sastra, psikologi melahirkan psikologi sastra sejarah dan politik,
filsafat, strukturalisme, semiotik, dan lainnya. Berdasarkan uraian di atas,
jelaslah bahwa sastra itu bukan bagian dari bahasa walaupun sastra
mempergunakan bahasa sebagai medianya. Demikian juga halnya dengan disiplin ilmu
sastra, disiplin ilmu sastra bukan bagian dari ilmu bahasa (linguistik).
Hubungan antara ilmu sastra dengan ilmu bahasa saling melengkapi, bukan saling
menaklukkan. Sastra memberi arti kepada bahasa dan bahasa juga memberi arti
kepada sastra. Anggapan yang keliru yang menganggap sastra dan bahasa satu,
bukan saja merugikan bagi kemajuan disiplin ilmu sastra itu sendiri, tetapi juga
merugikan kepada banyak bidang terkait, termasuk merugikan bagi pengembangan
disiplin ilmu secara umum. Sebab pengembangan ilmu sastra sebagai sebuah disiplin
ilmu tidak akan mampu mengarah kepada dinamika yang diperlukan oleh dinamika
yang berkembang di dalam karya sastra itu sendiri. Sastra adalah bagian dari
kebudayaan bukan bagian dari bahasa. Sastra sebagai bagian dari kebudayaan harus
dilihat dalam pengertian luas yang berdimensi multi, sebab kalau tidak demikian,
kita tidak akan pernah memahami alasan-alasan yang diberlakukan misalnya oleh Kejaksaan
Agung ketika melarang buku-buku fiksi tertentu, atau memahami polisi dalam
tidak memberikan izin terhadap pementasan-pementasan seperti baca puisi. Sumbangan
karya sastra sebagai karya fiksi dalam menghumanisasikan kehidupan memang
bagus, namun sumbangan sastra sebagai ilmu bagi pengembangan interdisiplin juga
menjadi penting di masa depan.
4.
KESIMPULAN
Dari segi ontologi, ontologi
sastra sebagai ilmu itu, mempunyai lima inti atau hakikat yaitu sastra sebagai
bahasa, sastra sebagai seni, sastra sebagai komunikasi, sastra sebagai simbol,
dan sastra sebagai hiburan.
Dari segi epistemolgi
melahirkan banyak metode mengkaji sastra. Misalnya, strukturalisme, semiotik,
hermeneutika, sosiosastra (sosiologi sastra),
intertektualitas, psikologi sastra, dekonstruksi, simbolisme, postrukturalis,
posmoderenis, analisis wacana, realisme, mimesis, pragmatik, ekspresi, obyektif,
parafrastis, emotif, analitis, historis, sosiopsikologis, didaktis, semantik,
tradisional, intensional, eksistensional, general, partikular, komparatif,
doktrin, sekuensi, tematik, evaluatif, judisial, induktif, impresionistik,
sosiokultural, mitopeik, relativistik, tekstual, lingusitik, elusidatori,
politik/ideologi, dan sebagainya. Dari segi aksiologi atau deontologi:
1 Karya sastra harus
mencerminkan dan memupuk rasa keindahan.
2 Karya sastra harus
membimbing peradapan dan keutuhan bangsa.
3 Karya sastra harus
menuntun kearah kemajuan rohani bangsa.
4 Karya sastra harus
memberikan penerangan bagi persoalan-persoalan dalam masyarakat.
5 Karya sastra harus
menciptakan ide-ide dan gagasan-gagasan baru.
6 Karya sastra harus
mampu memberikan hiburan bagi rakyat (penikmatnya).
DAFTAR
PUSTAKA
Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung:
Penerbit C.V. Sinar Baru. Eagleton, Terry. 1988. Teori Kesusastraan Suatu Pengenalan,
terjemahan Muhammad Hj. Saleh. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian
Pendidikan Malaysia. Gazalba, Sidi. 1991. Sistematika Fisafat, Buku I, II dan
III. Jakarta: Bulan Bintang. Gie, The Liang. 2000. Pengantar Filsafat Ilmu.Yogyakarta: Penerbit
Liberty. Hardiyanto, Soegeng. Metodologi
Keilmuan: Pengenalan Awal Sebuah Pemahaman Kamus Umum Bahasa Indonesia.
1995. Komaruddin. 1985. Kamus Istilah Skripsi dan Tesis. Penerbit:
Angkasa Bandung. Luxemburg, Jan van, dkk.1984.
Pengantar Ilmu Sastra, terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: PT. Gramedia. Muhadjir,
Neong. 2001. Filsafat Ilmu, Positivisme, Post Positivisme dan Post
Modernisme.Yogyakarta: Rakasarosin. Munawir, Wahyudin. Netralitas Ilmu dalam Sorotan. http://www.istecs.org/Publication/ISLAM96/islam_1722.html
(7/2/2003) Mundiri. 2000. Logika. Jakarta: Rajawali Pers. Pranarka, A.M.W.
1987. Epistemologi Dasar Suatu
Pengantar. Jakarta: CSIS. Rene Wellek dan Austin Warren, 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: Penerbit PT.
Gramedia. Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus
Istilah Sastra. Jakarta: Penerbit Gramedia, Jakarta. Sumantri, Jujun S.
1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Sinar Harapan. Sumardjo, Jakob. 2000.
Filsafat Seni. Bandung: ITB Bandung. Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori
Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya - Girimukti Pasaka. Universitas Sumatera Utara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar